Senin, 17 Oktober 2011

iklan0
Gambaran pengetahuan ibu hamil tentang gizi selama kehamilan di Kelurahan

iklan1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ibu hamil memiliki kebutuhan makanan yang berbeda dengan ibu yang tidak hamil, karena ada janin yang tumbuh dirahimnya. Kebutuhan makanan dilihat bukan hanya dalam porsi tetapi harus ditentukan pada mutu zat-zat gizi yang terkandung dalam makanan yang dikonsumsi (Derek, 2005). Untuk pertumbuhan maupun aktivitas janin memerlukan makanan yang disalurkan melalui plasenta. Untuk itu ibu hamil harus mendapat gizi yang cukup untuk dirinya sendiri maupun bagi janinnya. Maka bagi ibu hamil, kualitas maupun jumlah makanan yang biasanya cukup untuk kesehatannya harus ditambah dengan zat-zat gizi dan energi agar pertumbuhan janin berjalan dengan baik. Selama hamil ibu akan mengalami banyak perubahan dalam tubuhnya agar siap membesarkan janin yang dikandungnya, memudahkan kelahiran, dan untuk memproduksi ASI bagi bayi yang akan dilahirkannya (Francin, 2005).
Bila ibu mengalami kekurangan gizi selama hamil akan menimbulkan masalah, baik pada ibu maupun janin yang dikandungnya, antara lain : anemia, perdarahan dan berat badan ibu tidak bertambah secara normal, kurang gizi juga dapat mempengaruhi proses persalinan dimana dapat mengakibatkan persalinan sulit dan lama, premature, perdarahan setelah
persalinan, kurang gizi juga dapat mempengaruhi pertumbuhan janin dan dapat menimbulkan keguguran, abortus, cacat bawaan dan berat janin bayi lahir rendah (Zulhaida, 2005).
WHO melaporkan bahwa setengah ibu hamil mengalami anemia, secara global 55% dimana secara bermakna trimester III lebih tinggi mengalami anemia dibandingkan dengan trimester I dan II. Masalah ini disebabkan kurangnya defesiensi zat besi dengan defisiensi zat gizi lainnya (Mc Carthy dan Maine, 1992).
Di negara yang berkembang termasuk Indonesia masalah gizi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama dan merupakan penyebab kematian wanita. Tidak dapat dipungkiri lagi dari masa kehamilan menjadi saat yang paling berbahaya bagi wanita dalam hidupnya (Nurn, 2002).
Di Indonesia prevalensi anemia tahun 1970-an, wanita hamil sekitar 46,5-70% pada Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1992 dengan angka anemia ibu hamil sebesar 63,5% sedangkan data SKRT turun menjadi 50,9%. Pada tahun 1999 didapatkan anemia gizi pada ibu hamil sebesar 39,5%, tahun 2001, didapatkan anemia zat gizi pada ibu hamil mencapai 40,1%, banyak faktor yang terkait dengan status anemia ibu hamil yaitu status sosial ekonomi, serta perolehan tablet zat besi (Fe) (Pasaribu, 2006).
Di Sumatera Utara tahun 2001 terdapat 77,9% ibu hamil yang tidak memenuhi asupan gizi yang benar terutama dalam mengkonsumsi zat besi (Fe), sehingga menyebabkan ibu menderita anemia (Amiruddin, 2007).
Selain itu di daerah pedesaan banyak dijumpai ibu hamil dengan malnutrisi atau kekurangan gizi sekitar 33%. Secara umum penyebab kekurangan gizi pada ibu hamil ini adalah konsumsi makanan yang tidak memenuhi syarat gizi yang dianjurkan. Jarak kehamilan dan persalinan yang berdekatan dengan ibu hamil dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah, sehingga menyebabkan ibu tidak mengerti cara pemenuhan nutrisi yang dibutuhkan si ibu selama kehamilannya (Depkes RI, 2002). Dari data yang didapatkan di Kantor Dinas Kesehatan Sibolga jumlah ibu hamil selama tahun 2008 sebanyak 2224 orang orang dan ibu hamil yang mengalami anemia sebanyak 325 orang.
Berdasarkan hasil survey, data yang didapatkan bahwa jumlah ibu hamil di Kelurahan Aek Muara Pinang pada bulan Maret-Juni sebanyak 40 orang yang mengalami anemia 15 orang (26,7%) mengalami anemia.
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas penulis tertarik untuk mengetahui “Gambaran pengetahuan ibu hamil tentang gizi selama kehamilan di Kelurahan Aek Muara Pinang Sibolga Selatan Tahun 2008”.

lihat artikel selengkapnya - Gambaran pengetahuan ibu hamil tentang gizi selama kehamilan di Kelurahan
iklan2

iklan0
Gambaran Pengetahuaan Kepala Keluarga Tentang Katarak Di Kelurahan

iklan1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Katarak merupakan masalah nasional yang perlu ditanggulangi. katarak dapat menyebabkan penurunan aktivitas dimana katarak merupakan penyebab umum kehilangan pandangan secara bertahap. Berdasarkan peneletian tahun 1989-1999, lebih dari separuh (54%) kebutuhan disebabkan katarak (Bougman, 2000).
Katarak merupakan kelainan mata yang terjadi akibat adanya perubahan lensa yang jernih dan tembus cahaya, sehingga keruh. Akibatnya mengalami gangguan penglihatan karena obyek menjadi kabur. Ganguan penglihatan yang terjadi tidak secara spontan. Melainkan secara perlahan dan dapat menimbulkan kebutaan. Meski tidak menular, namun katarak dapat terjadi di kedua mata secara bersama (Rahmi, 2008).
Menurut data organisasi kesehatan dunia atau World Health Organization (WHO) dapat 50 juta kebutaan di dunia akibat katarak dan yang paling banyak adalah mereka yang tinggal di negara miskin dan berkembang yaitu Asia dan Afrika. Penduduk yang tinggal dinegara berkembanag beresiko 10 kali lipat mengalami kebutaan dibandingkan penduduk negara maju. Sedangkan menurut Institute Kesehatan Nasional atau National Institute of Health (NIH) di negara maju seperti Amerika Serikat terdapat 4 juta orang beresiko menjadi buta karena proses kemunduran mascular (titik kuning retina) yang berhubungan dengan faktor usia sehingga pada akhirnya menyebabkan kebutaan, sebagai perbandingan di Banglades angka kebutaan mencapai 1%, di India 0,1 -0,3%.
Tingkat kebutaan yang diakibatkan katarak di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara, yaitu sebesar 1,5% sedangkan dalam catatan WHO, tingkat kebutaan di Indonesia berada diurutan ketiga di dunia yaitu sebesar 1,47%. Tingginya katarak di Indonesia dipengaruhi oleh letak geografis yang berada di daerah garis khatulistiwa sehingga berdasarkan penelitan menilai resiko 15 tahun lebih cepat terkena katarak dibanding penduduk di Eropa (Rahmi,2008).
Katarak tidak dapat dicegah kecuali pada kebutaannya yaitu dengan tindakan operasi. Katarak merupakan penyakit degenaratif namun saat ini katarak juga telah ditemukan pada usia muda (35-40 tahun). Selama ini katarak dijumpai pada orang yang berusia diatas 55 tahun sehingga sering diremehkan kaum muda. Hal ini disebabkan kurangnya asupan Gizi dan nutrisi yang dibutuhkan tubuh (Irawan, 2008).
Kebutaan yang terjadi akibat katarak akan terus meningkat karena penderita katarak tidak menyadarinya, daya penglihatan baru terpengaruh setalah katarak berkembang sekitar 3-5 tahun dan menyadari penyakitnya setelah memasuki stadium kritis. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan mengenai gejala katarak. Salah satu penyebab tingginya kasus kebutaan yang diakibatkan oleh katarak karena kurangnya perhatian masyarakat terhadap kesehatan mata.
Dari data yang diperoleh dipoliklinik mata RSU Dr. F.L Tobing Sibolga pada tahun 2008/2009 penderita katarak berjumlah 72 orang, yang telah dioperasi berjumlah 27 orang sedangkan yang tidak dioperasi 45 orang dikarenakan oleh faktor ekonomi (RSU F.L Tobing Sibolga)
Berdasarkan hasil survey yang didapatkan dari dokumentasi dan arsip Lurah Aek Manis Sibolga bahwa jumlah KK 1139 dan yang menderita katarak 34 orang (Profil Kelurahan Aek Manis, 2009).
Dari uraian diatas penulis tertarik untuk mengetahui “Bagaimana Gambaran Pengetahuaan Kepala Keluarga Tentang Katarak Di Kelurahan Aek Manis Kota Sibolga tahun 2009 “

lihat artikel selengkapnya - Gambaran Pengetahuaan Kepala Keluarga Tentang Katarak Di Kelurahan
iklan2

iklan0
Gambaran Pengetahuan Wanita Usia Subur (WUS) Tentang PAP Smear Di Kelurahan

iklan1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kanker leher rahim merupakan jenis penyakit kanker yang paling banyak diderita wanita diatas usia 18 tahun. Kanker leher rahim ini menduduki urutan nomor dua penyakit kanker didunia bahkan sekitar 500.000 wanita di seluruh dunia di diagnosa menderita kanker leher rahim dan rata-rata 270.000 meninggal tiap tahun (Depkes RI, 2008).
Diperkirakan pada tahun 2010 kanker leher rahim menjadi penyebab utama mortalitas diseluruh dunia dan pada tahun 2030 diperkirakan terjadi kasus kanker baru sebanyak 20 hingga 26 juta jiwa dan 13 hingga 17 juta jiwa meninggal akibat kanker leher rahim. Peningkatan angka kejadian kanker diperkirakan sebesar 1% per tahun. Pada tahun 2008 disampaikan dalam world cancer report bahwa terjadi 12 juta jiwa pasien yang baru didiagnosis kanker leher rahim.
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa sekitar sepertiga kanker dapat disembuhkan jika didiagnosis dan ditangani pada stadium dini, untuk itu perlunya skrining kanker seperti melakukan papsmear untuk mendeteksi kelainan sel-sel pada leher rahim (Nofa, 2003).
Kini pap smear telah dikenal sebagai suatu pemeriksaan yang aman, murah dan telah dipakai bertahun-tahun untuk mendeteksi kelainan sel-sel leher rahim. Semakin dini sel-sel abnormal terdeteksi semakin rendah resiko seseorang menderita kanker leher rahim (Wim De Jong, 2004).
Sekitar 80% kasus kanker leher rahim terjadi pada wanita yang hidup berkembang. Di Indonesia terdapat 90-100 kasus kanker leher rahim per 100.000 penduduk. Kanker leher rahim adalah kematian nomor satu yang sering terjadi pada wanita Indonesia. Setiap wanita tanpa memandang usia dan latar belakang beresiko terkena kanker leher rahim.
Tingginya kasus di negara berkembang ini disebabkan terbatasnya akses screening dan pengobatan. Masih banyak wanita dinegara berkembang, termasuk Indonesia kurang mendapat informasi dan pelayanan terhadap penyakit kanker leher rahim. Ini disebabkan karena tingkat ekonomi rendah dan tingkat pengetahuan wanita yang kurang tentang papsmear (Meutia, 2008).
Kanker leher rahim disebabkan oleh Human Papiloma Virus (HPV). Menurut Bambang (2008) mengatakan kaum lelaki berperan sangat bersar dalam penularan HPV. Laki-laki yang suka berganti-ganti pasangan beresiko besar menularkan virus Papiloma dari pasangannya yang menderita kanker leher rahim ke pasangannya yang baru (Andreas, 2008).
Pada umumnya penderita Ca serviks adalah umur 30-60 tahun tapi sangat rentan terjadi pada wanita usia 35-55 tahun. Saat ini usia remaja juga beresiko terkena kanker leher rahim, ini disebabkan karena remaja mulai berhubungan seksual pada usia dibawah 18 tahun serta sering berganti pasangan, ini akan beresiko tinggi teerkena infeksi virus HPV. Semua wanita yang berusia 18 tahun atau lebih dan telah aktif secara seksual harus melakukan papanicolaou (papsmear). Semakin dini sel-sel abnormal dideteksi semakin rendah resiko wanita menderita kanker leher rahim (Bobak, 2004).
Berdasarkan data rekam medik yang dilakukan oleh penulis, diperoleh jumlah Wanita Usia Subur (WUS) pada bulan Januari sampai Desember 2008 di Kelurahan Aek Muara Pinang 108 orang, yang melakukan pap smear sebanyak 47 orang, sedangkan yang tidak melakukan papsmear 61 orang.
Dari uraian di atas peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai gambaran pengetahuan wanita usia subur (WUS) tentang pap semar di Kelurahan Aek Muara Pinang Tahun 2009.

lihat artikel selengkapnya - Gambaran Pengetahuan Wanita Usia Subur (WUS) Tentang PAP Smear Di Kelurahan
iklan2

iklan0
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Ibu Balita Dalam Pemanfaatan Posyandu Di Desa

iklan1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian
Tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk atau individu agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Posyandu merupakan salah satu bentuk kesehatan bersumber daya manusia guna memberdayakan masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar, utamanya untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi.1 Menurut data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 2010 Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 34 /1000 kelahiran hidup dan angka kematian ibu (AKI) mencapai kisaran 228/100.0000 kelahiran hidup 2. Adapun penyebab langsung kematian ibu di Indonesia seperti halnya di negara lain terdiri dari perdarahan, infeksi dan eklampsia3, data tersebut menunjukkan masih rendahnya status kesehatan ibu dan bayi baru lahir, rendahnya akses dan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak khususnya pada masa persalinan dan segera sesudahnya, serta perilaku (baik yang bersifat preventif maupun kuratif) ibu hamil dan keluarga serta masyarakat yang bersifat negatif bagi perkembangan kehamilan sehat, persalinan yang aman dan perkembangan dini anak 4.
Upaya yang dilakukan baik yang bersifat preventif maupun kuratif adalah posyandu yang merupakan tempat atau media yang paling dekat dengan masyarakat dalam pemantauan gizi pada balita. Masyarakat secara langsung dapat memantau pertumbuhan dan perkembangan status gizi balitanya. Oleh karena itu dalam rangka menurunkan angka kematian anak adalah pengembangan upaya kesehatan bersumber masyarakat seperti pos pelayanan terpadu (posyandu), penanggulangan kurang energi protein, pendidikan gizi, penyediaan sarana air bersih dan sanitasi dasar, serta pencegahan dan pemberantasan penyakit melalui survilans dan imunisasi. Upaya menggerakkan masyarakat dalam keterpaduan ini digunakan pendekatan Pos pelayanan terpadu ini merupakan wadah titik temu antara pelayanan profesional dari petugas kesehatan dan peran serta masyarakat5. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan Posyandu merupakan proses keadaan ketika individu, keluarga maupun masyarakat umum ikut serta bertanggung jawab terhadap kesehatan keluarga atau kesehatan masyarakat lingkungannya. Namun berbagai hambatan dalam memelihara kesehatan diri dan keluarganya perlu mendapatkan perhatian 1.
Sebagai indikator pencapaian dalam program Posyandu yang yang kekuatannya terletak pada pelayanan kesehatan dasar, kerjasama lintas sektoral dan peran serta masyarakat. Pada masa krisis ekonomi keberadaanya kurang mengembirakan, hal ini ditandai dengan rendahnya cakupan kegiatan Posyandu. Cakupan partisipasi masyarakat dalam kegiatan Posyandu adalah Jumlah Balita yang ditimbang di Posyandu (D) dibagi dengan jumlah balita yang ada (S) di wilayah kerja Posyandu kemudian dikali 100%. Persentase D/S disini, menggambarkan berapa besar jumlah partisipasi masyarakat di dareah tersebut yang telah tercapai. Cakupan D/S dalam kegiatan Posyandu di Indonesia tahun 2008 85%, Jawa Barat salah satu provinsi yang memiliki cakupan rendah yaitu 79% masih dibawah target Dinas Kesehatan sebesar 90%. 6
Menurut laporan hasil kegiatan tahunan program KIA-KB kesehatan Puskesmas Singaparna tahun 2009, pencapaian target D/S (jumlah bayi dan anak Balita yang datang dan ditimbang di Posyandu dibanding dengan semua bayi dan anak Balita yang ada) sebesar 67,34%. Adapun cakupan per desa yakni desa Cikunir mencapai 81.93%, Cikadongdong 70,82%, Singasari 45.03%, Singaparna 47,59%, Sukamulya 83.49%, Ciparay 59.70%, Suka asih 93.26 dan Singajaya 63.93%. 7
Kunjungan ibu balita ke Posyandu erat kaitannya dengan perilaku kesehatan, perilaku kesehatan hakikatnya adalah hal-hal yang berkaitan dengan tindakan atau kegiatan ibu dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan balitanya. Kesehatan seseorang dipengaruhi atau terbentuk dari beberapa faktor. Green menjelaskan bahwa perilaku itu dilatar belakangi atau dipengaruhi oleh tiga faktor pokok yaitu faktor predisposisi (predisposing factors), faktor pendukung (enabling factors) dan faktor pendorong (reinforcing factors).7
Melihat paparan tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut yaitu mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku ibu balita dalam pemanfaatkan posyandu di Desa Singaparna Kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2010.

lihat artikel selengkapnya - Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Ibu Balita Dalam Pemanfaatan Posyandu Di Desa
iklan2

iklan0
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Balita Di Puskesmas

iklan1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan merupakan bagian dari pembangunan yang bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pembangunan kesehatan tersebut merupakan upaya seluruh potensi bangsa Indonesia baik masyarakat, swasta, maupun pemerintah. (Depkes RI, 2007)
Pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi derajat kesehatan. Upaya mewujudkan derajat kesehatan masyarakat adalah untuk meningkatkan keadaan kesehatan yang lebih baik dari sebelumnya. Derajat kesehatan yang optimal adalah tingkat kesehatan yang tinggi dan mungkin dapat dicapai suatu saat sesuai dengan kondisi dan situasi serta kemampuan yang nyata dari setiap orang atau masyarakat dan harus diusahakan peningkatannya secara terus-menerus. (UU Kes. No. 23, 1992)
Program kesehatan ibu dan anak yang telah dilaksanakan selama ini bertujuan untuk meningkatkan status derajat kesehatan ibu dan anak serta menurunkan AKI dan AKB. Untuk itu diperlukan upaya pengelolaan program kesehatan ibu dan anak yang bertujuan untuk memanfaatkan dan meningkatkan jangkauan serta mutu pelayanan kesehatan ibu dan anak secara efektif dan efisien. (Depkes RI, 2008)
Badan Pusat Statistik mengestimasikan Angka Kematian Bayi (AKB) tahun 2007 di Indonesia sebesar 34 per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini sedikit menurun jika dibandingkan dengan AKB tahun 2002-2003 sebesar 35per 1.000 kelahiran hidup. (Depkes RI, 2008)
Di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2008 Angka Kematian Bayi sedikitnya mencapai 38 per 1.000 kelahiran hidup dari 1.000 kelahiran di Jawa Barat, sementara itu, di Negara-negara Asia lainnya, dari 1.000 kelahiran yang meningggal di bawah 20 bayi. Ini membuktikan bahwa angka kematian bayi saat dilahirkan di wilayah Jawa Barat tergolong tinggi. (Dinkes Jabar, 2009)
Sedangkan di Kabupaten Majalengka pada tahun 2008 jumlah kematian bayi mencapai 385 dari 18.873 bayi yaitu sebesar 21 per 1.000 kelahiran hidup (Dinkes Majalengka, 2009)

lihat artikel selengkapnya - Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Balita Di Puskesmas
iklan2

iklan0
Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Rendahnya Kunjungan Ibu Dalam Memeriksakan Kehamilannya Pada Trimester I

iklan1
BAB I
PENDAHUALUAN

1.1 Latar belakang
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal (Undang-undang kesehatan No.25 tahun 1992).
Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masarakat diselenggarakan upaya kesehatan dengan pendidikan pemeliharaan kesehatan (promotif), pencegahan secara menyeluruh, terarah, dan berkesinambungan (Undang-undang kesehatan No. 23 tahun 1992).
Pelayanan kesehatan diperkirakan dapat menurunkan angka kematian ibu sampai 20% namun dengan sistem rujukan yang efektif, angka kematian dapat ditekan sampai 80%. Menurut UNICEF 80% kematian ibu dan perinatal terjadi di rumah sakit rujukan. Dengan demikian maka upaya peningkatan derajat kesehatan ibu mendapat perhatian serius (Sastro ASmoro, 2000).
Pelayanan kesehatan tersebut merupakan bagian integral dari pelayanan dasar yang terjangkau oleh seluruh rakyat. Didalamnya termasuk pelayanan kesehatan ibu yang berupaya agar setiap ibu hamil dapat melalui kehamilan dan persalinannya dengan selamat. Upaya dapat tercapai bila dalam memberikan pelayanannya bermutu dan berkesinambungan atau komprehensif.
Pengelolaan program KIA pada prinsipnya bertujuan menetapkan peningkatan jangkauan serta mutu pemeriksaan KIA secara efektif dan efisien. Pemantapan pemeriksaan KIA dewasa ini diutamakan pada keinginan pokok yaitu peningkatan pemeriksaan antenatal di semua fasilitas pemeriksaan dengan mutu yang baik serta jangkauan yang setinggi-tingginya (Departemen Kesehatan RI, 1995).
Di Kabupaten Majalengka yaitu cakupan ibu hamil yang memeriksakan kehamilanya ke Puskesmas untuk pertama kalinya (K1) pada tahun 2007 adalah 14,68 % dari target 100 % dan cakupan ANC lengkapnya (K4) sebanyak 12,53 % sedangkan target cakupan adalah 95% ( Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, 2007).
Di Puskesmas Kadipaten cakupan ibu hamil yang memeriksakan kehamilanya ke puskesmas untuk pertama kalinya ( K1) pada tahun 2007 yaitu sebanyak 92,15 %. dari target 100%. Sedangakan cakupan ANC lengkapnya atau (K4) sebanyak 79,74 % dari target 95% ( Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, 2007)
Dengan memperhatikan kejadian di atas, maka penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang Faktor-faktor yang berhubungan dengan rendahnya kunjungan ibu dalam memeriksakan kehamilanya pada trimeseter I di Puskesmas Kadipaten Kecamatan Kadipaten Kabupaten Majalengka Tahun 2008.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas rumusan masalahnya adalah “Belum Diketahuinya Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Rendahnya Kunjungan Ibu Dalam Memeriksakan Kehamilannya Pada Trimester I di UPTD Puskesmas Dawuan Kabupaten Majalengka Tahun 2008 ”.

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan rendahnya kunjungan ibu dalam memeriksakan kehamilanya pada trimester I di UPTD Puskesmas Dawuan Kabupaten Majalengka Tahun 2008.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan rendahnya kunjungan ibu dalam memeriksakan kehamilanya pada trimester I di UPTD Puskesmas Dawuan Kabupaten Majalengka Tahun 2008.
b. Diketahuinya hubungan pendapatan dengan rendahnya kunjungan ibu dalam memeriksakan kehamilanya pada Trimester I di UPTD Puskesmas Dawuan Kabupaten Majalengka Tahun 2008
c. Diketahuinya hubungan pendidikan dengan rendahnya kunjungan ibu dalam memeriksakan kehamilanya pada trimester I di UPTD Puskesmas Dawuan Kabupaten Majalengka Tahun 2008.
d. Diketahuinya hubungan jarak dengan rendahnya kunjungan ibu dalam memeriksakan kehamilanya pada Trimester I di Puskesmas Kadipaten tahun 2008.

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Puskesmas
Diharapkan dapat memberikan informasi secara objektif tentang Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Rendahnya Kunjungan Ibu Dalam Memeriksakan Kehamilanya Pada Trimester I dapat dijadikan pedoman dalam memberikan penyuluhan kepada ibu-ibu hamil diwilayah kerjanya khususnya di bagian KIA, memberikan pendidikan kesehatan untuk kunjungan ANC dalam menurunkan angka morbilitas dan moralitas pada wanita hamil.
1.4.2 Bagi Pendidikan
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai dokumentasi pada perpustakaan Program Studi Kebidanan YPIB Majalengka serta dapat dikembangkan lebih luas dalam penelitian selanjutnya.
1.4.3 Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti terutama untuk menambah wawasan dalam hal mengetahui Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Rendahnya Kunjungan Ibu Dalam Memeriksakan Kehamilanya Pada Trimester I serta menjadi suatu kesempatan yang berharga bagi peneliti untuk dapat mengaplikasikanya ilmu-ilmu yang telah diperoleh selama masa kuliah.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini meliputi faktor-faktor yang berhubungan dengan rendahnya kunjungan ibu dalam memeriksakan kehamilanya pada trimester I yang terdiri dari faktor pendapatan, pendidikan dan jarak yang dilakukan di wilayah kerja UPTD Puskesmas Kadipaten Kabupaten Majalengka tahun 2008 dengan populasi yaitu ibu hamil yang berkunjung pada trimester I.

lihat artikel selengkapnya - Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Rendahnya Kunjungan Ibu Dalam Memeriksakan Kehamilannya Pada Trimester I
iklan2

iklan0
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Robekan Perineum Ibu Bersalin Di BPS

iklan1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Indonesia membuat rencana strategi nasional Making Pregnancy Safer (MPS) untuk tahun 2001 - 2010, dalam konteks rencana pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 adalah dengan visi 'Kehamilan dan Persalinan di Indonesia Berlangsung Aman, serta yang Dilahirkan Hidup dan Sehat,' dengan misinya adalah menurunkan angka kesakitan dan kematian maternal dan neonatal melalui pemantapan sistem kesehatan. Salah satu sasaran yang ditetapkan untuk tahun 2010 adalah menurunkan angka kematian maternal menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup (Saifuddin dkk, 2002).
Salah satu sasaran yang ditetapkan untuk tahun 2010 adalah menurunkan Angka Kematian Maternal menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Neonatal menjadi 16 per 1000 kelahiran hidup. Untuk mencapai sasaran tersebut ditetapkan 4 strategi utama dan azas-azas pedoman operasionalisasi strategi antara lain bahwa Making Pregenancy Safer (MPS) memusatkan perhatiannya pada pelayanan kesehatan maternal dan neonatal yang baku, cost effective, dan berdasarkan bukti (evidence based), pada semua tingkat pelayanan dan rujukan kesehatan, baik di sektor pemerintah maupun swasta. Keluaran yang diharapkan dari strategi ini adalah terselenggaranya pelayanan kesehatan maternal dan neonatal dasar berkualitas di Polindes dan Puskesmas, Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Dasar (PONED) di Puskesmas dengan tempat tidur, di Rumah Sakit Kabupaten/Kodya dan Rumah Sakit Propinsi. (Prawirohardjo, 2002).
Perdarahan post partum menjadi penyebab utama 40% kematian ibu di Indonesia. Jalan lahir merupakan penyebab kedua perdarahan setelah atonia uteri yang terjadi pada hampir persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Pada seorang primipara atau orang yang baru pertama kali melahirkan ketika terjadi peristiwa “kepala keluar pintu”. Pada saat ini seorang primipara biasanya tidak dapat tegangan yang kuat ini sehingga robek pada pinggir depannya. Luka-luka biasanya ringan tetapi kadang-kadang terjadi juga luka yang luas dan berbahaya. Sebagai akibat persalinan terutama pada seorang primipara, biasa timbul luka pada vulva disekitar introitus vagina yang biasanya tidak dalam akan tetapi kadang-kadang bisa timbul perdarahan banyak. (Prawirohardjo, 2002)
DI Kabupaten Majalengka penyebab utama kematian ibu adalah karena perdarahan (25%), eklampsi (7,14%), infeksi (7,14%), dan faktor lain (60,71%). (Dinkes Kab. Majalengka, 2009).
Robekan jalan lahir merupakan penyebab kedua tersering dari perdarahan pasca persalinan. Robekan dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri. Perdarahan pasca persalinan dengan uterus yang berkontraksi baik biasanya disebabkan oleh robekan serviks atau vagina. Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya, kesalahan pada tekhnik mengejan juga bisa berdampak terjadinya robekan perineum yaitu bilamana ibu bersalin mengejan sambil mengangkat bokong, selain itu membuat proses mengejan tidak maksimal, juga bisa memperparah robekan perineum (daerah antara vagina dan anus). (Cunningham, dkk., 2006)
Berdasarkan hasil data prasurvey, angka kejadian Ruptur Perineum Spontan yang dialami ibu bersalin di BPS Y tahun 2009 masih sangat tinggi yaitu sebanyak 68 orang dari 98 persalinan normal. Sedangkan yang tidak mengalami Ruptur Perineum berjumlah 30 orang. Diantara ibu yang mengalami ruptur perineum terdapat jumlah ibu yang berusia < 20 tahun mengalami ruptur perineum sebanyak 35 orang,usia 20-35 tahun yang mengalami ruptur perineum sebanyak 10 orang dan usia > 35 tahun mengalami ruptur perineum sebanyak 23 orang, sedangkan ibu yang sudah melahirkan anak > 3 kejadian robekan perineum sebanyak 15 orang dan ibu yang melahirkan dengan berat bayi > 4000 gram sebanyak 4 orang dan 2 diantaranya mengalami robekan perineum.
Robekan perineum adalah salah satu robekan jalan lahir yang merupakan penyebab kedua tersering dari perdarahan pasca persalinan yang berakibat terhadap kematian ibu post partum (Saifuddin dkk, 2002)
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Robekan Perineum Ibu Bersalin Di BPS Y Salagedang Kecamatan Sukahaji Kabupaten Majalengka Periode Februari - April Tahun 2010”.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian robekan perineum ibu bersalin di BPS Y Salagedang Kecamatan Sukahaji Kabupaten Majalengka Periode Februari - April Tahun 2010.

1.3 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini terbatas pada variabel bebas yaitu umur, paritas dan berat bayi lahir. Sedangkan variabel terikatnya adalah robekan perineum di BPS Y Salagedang Kecamatan Sukahaji Kabupaten Majalengka tahun 2010. Subyek penelitian ini adalah ibu bersalin yang ada di BPS Y, penelitian ini akan dilaksanakan periode bulan Februari - April Tahun 2010, lokasi penelitian ini akan dilaksanakan di BPS Y Salagedang Kecamatan Sukahaji. Penelitian ini menggunakan data primer dengan observasi kepada ibu bersalin. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analitik dengan pendekatan cross sectional.

1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian robekan perineum ibu bersalin di BPS Y Salagedang Kecamatan Sukahaji Kabupaten Majalengka Periode Februari - April tahun 2010.
1.4.2 Tujuan Khusus
1.4.2.1 Diketahuinya gambaran kejadian robekan perineum di BPS Y Salagedang Kecamatan Sukahaji Kabupaten Majalengka Periode Februari - April tahun 2010.
1.4.2.2 Diketahuinya gambaran umur ibu bersalin di BPS Y Salagedang Kecamatan Sukahaji Kabupaten Majalengka Periode Februari - April tahun 2010.
1.4.2.3 Diketahuinya gambaran paritas ibu bersalin di BPS Y Salagedang Kecamatan Sukahaji Kabupaten Majalengka Periode Februari - April tahun 2010.
1.4.2.4 Diketahuinya gambaran berat badan lahir di BPS Y Salagedang Kecamatan Sukahaji Kabupaten Majalengka Periode Februari - April tahun 2010.
1.4.2.5 Diketahuinya hubungan umur dengan kejadian robekan perineum ibu bersalin di BPS Y Salagedang Kecamatan Sukahaji Kabupaten Majalengka Periode Februari - April tahun 2010.
1.4.2.6 Diketahuinya hubungan paritas dengan kejadian robekan perineum ibu bersalin di BPS Y Salagedang Kecamatan Sukahaji Kabupaten Majalengka Periode Februari - April tahun 2010.
1.4.2.7 Diketahuinya hubungan berat badan lahir dengan kejadian robekan perineum ibu bersalin di BPS Y Salagedang Kecamatan Sukahaji Kabupaten Majalengka Periode Februari - April tahun 2010.

1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Institusi Lahan Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan tentang langkah-langkah yang dilakukan untuk meningkatkan pelayanan dalam persalinan dimasa yang akan datang.
1.5.2 Bagi Institusi Pendidikan
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai dokumentasi pada Perpustakaan Program Studi DIII Kebidanan STIKes YPIB Majalengka serta dapat dikembangkan lebih luas dalam penelitian selanjutnya.
1.5.3 Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti terutama untuk menambah wawasan dalam hal mengetahui hubungan teknik mengejan ibu bersalin dan faktor lainnya robekan perineum, serta menjadi suatu kesempatan yang berharga bagi peneliti untuk dapat mengaplikasikan ilmu-ilmu yang telah diperoleh selama masa kuliah.

lihat artikel selengkapnya - Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Robekan Perineum Ibu Bersalin Di BPS
iklan2

iklan0
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Persalinan Caesar Pasien Rawat Inap Di RS

iklan1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Persalinan Caesar adalah melahirkan janin melalui irisan pada dinding perut (laparotomi) dan dinding uterus (histeroctomi). Persalinan Caesar merupakan operasi besar yang hanya menjadi pilihan ketika kesehatan ibu dan anak terancam atau pada gawat janin dan gawat ibu (edema paru,gagal ginjal). Persalinan Caesar tidak ditujukan hanya demi kenyamanan dan kepentingan dokter atau orang tua atau alasan lain yang sifatnya non medis (Abu Bakar, 2005).
Operasi Caesar hanya di lakukan untuk menyelamatkan nyawa ibu yang melahirkan, maka logikanya kemajuan teknologi kedokteran akan membawa perubahan pada jumlah antara Angka Kematian Ibu yang melahirkan secara normal, dan Angka Kematian Ibu pada saat menjalani operasi Caesar (Astina, 2004).
Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih tetap tinggi di kawasan ASEAN walaupun sudah terjadi penurunan dari 307 per 100.000 KH (SDKI 2002 -2003) menjadi 248 per 100.000 KH pada tahun 2007 (Depkes RI, 2007).
WHO memperkirakan 585.000 perempuan meninggal setiap harinya akibat komplikasi kehamilan, proses kelahiran dan aborsi yang tidak aman akibat kehamilan yang tidak diinginkan. Hampir semua kasus kematian ini sebenarnya dapat dicegah. WHO juga melaporkan, sekitar 80 % kematian maternal merupakan akibat meningkatnya komplikasi selama kehamilan, persalinan, dan setelah melahirkan, tetapi dengan kemajuan teknologi yang semakin canggih termasuk dibidang kedokteran, persalinan ibu yang mengalami komplikasi dapat di bantu dengan operasi Caesar (BKKBN, 2007)
Saat ini operasi Caesar menjadi trend karena berbagai alasan. Dalam 20 tahun terakhir angka operasi Caesar meningkat pesat. Operasi ini kadang-kadang terlalu sering dilakukan sehingga para kritikus menyebutnya sebagai Panacea (obat mujarab) praktek kebidanan. Semakin modern alat penunjang kesehatan, semakin baik obat-obat terutama antibiotik dan tingginya tuntutan terhadap dokter, menunjang meningkatnya angka operasi Caesar di seluruh dunia (Seno Adjie, 2002).
Di Indonesia angka persalinan caesar di 12 Rumah Sakit pendidikan antara 2,1 % - 11,8 %. Angka ini masih di atas angka yang diusul oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1985 yaitu 10 % dari seluruh persalinan Caesar nasional (Rahwan,2004). Di Propinsi Gorontalo, khususnya di RS rujukan angka kejadian SC pada tahun 2008 terdapat 35 % dan meningkat menjadi 38 % pada tahun 2009. (Profil Dikes Propinsi, 2009).
Dari hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan di RSTN Kabupaten Boalemo pada tanggal 10 Januari 2010 melalui medikal record, diperoleh data bahwa pada tahun 2008, dari jumlah persalinan 117 orang dengan resiko tinggi di Caesar 32 orang ( 27 %), dan pada tahun 2009 dari jumlah persalinan 154 orang dengan risiko tinggi diCaesar sebanyak 61 orang (39 %) (Senoe Adjie, 2002).
Peningkatan operasi Caesar disebabkan karena operasi ini memberikan jalan keluar bagi kebanyakan kesulitan yang timbul pada tahap pertama dan kedua persalinan, bila persalinan pervaginam tidak memungkinkan atau berbahaya (dudley, 2005),
Dari segi keamanan tindakan operasi Caesar umumnya sudah semakin aman, namun operasi ini tetap mempunyai banyak kelemahan. Beberapa kajian menunjukan bahwa operasi ini mempunyai mortalitas dan morbiditas yang lebih tinggi dan cenderung lebih mudah diikuti shok pasca bedah (Dudley, 2005),
Mengingat bahaya yang dapat ditimbulkan, maka menghindari persalinan Caesar adalah penting, untuk itu perlu diperhatikan secara saksama faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya operasi Caesar tersebut, sehingga dengan diketahuinya faktor-faktor tersebut diharapkan ibu yang sedang hamil dan terutama yang memiliki resiko untuk persalinan Caesar dapat lebih menjaga dan memelihara kesehatan dirinya dan kandungannya melalui pelayanan kesehatan yang optimal.
Bertolak dari uraian di atas maka penulis tertarik untuk meneliti ”Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Persalinan Caesar di Rumah Sakit Tani dan Nelayan Kabupaten Boalemo“

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut :
1) Apakah ada hubungan umur ibu dengan kejadian Persalinan Caesar di Rumah Sakit Tani & Nelayan Boalemo Tahun 2009.
2) Apakah ada hubungan paritas ibu dengan kejadian Persalinan Caesar di Rumah Sakit Tani & Nelayan Boalemo Tahun 2009.
3) Apakah ada hubungan penyulit persalinan dengan kejadian Persalinan Caesar di Rumah Sakit Tani & Nelayan Boalemo Tahun 2009.
4) Apakah ada hubungan riwayat persalinan Caesar dengan kejadian persalinan Caesar di Rumah sakit Tani & Nelayan Boalemo Tahun 2009
5) Apakah ada hubungan antenatal care dengan kejadian Persalinan Caesar di Rumah Sakit Tani & Nelayan Boalemo Tahun 2009.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya operasi Caesar di Rumah sakit umum daerah Tani & Nelayan tahun 2010
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui hubungan umur ibu dengan kejadian operasi Caesar di Rumah Sakit umum daerah Tani & Nelayan Boalemo.
b. Untuk mengetahui hubungan paritas dengan kejadian operasi Caesar di Rumah Sakit umum daerah Tani & Nelayan Boalemo.
c. Untuk mengetahui hubungan penyulitan persalinan dengan kejadian operasi Caesar di Rumah Sakit umum daerah Tani & Nelayan Boalemo.
d. Untuk mengetahui hubungan riwayat persalinan Caesar dengan kejadian operasi Caesar di Rumah Sakit umum daerah Tani & Nelayan Boalemo.
e. Untuk mengetahui hubungan antenatal care dengan kejadian persalinan Caesar di rumah sakit Umum daerah Tani dan nelayan Boalemo

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini sebagai sumber informasi bagi Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo dalam rangka penentuan arah kebijakan dan pengembangan program penyuluhan/promosi kesehatan untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) pada masa mendatang dan bagi Rumah Sakit umum daerah Tani dan Nelayan boalemo merupakan informasi yang berharga dalam perbaikan pelayanan.
2. Manfaat Keilmuan
Hasil penelitian diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan merupakan salah satu bahan bacaan bagi peneliti berikutnya.
3. Manfaat bagi peneliti
Merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi peneliti dalam memperluas wawasan dan pengetahuan tentang Faktor-faktor yang berhubungan dengan operasi caesar melalui penelitian lapangan.
lihat artikel selengkapnya - Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Persalinan Caesar Pasien Rawat Inap Di RS
iklan2

iklan0
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Asfiksia Di RS

iklan1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pembangunan kesehatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan di Indonesia dalam tiga dekade ini telah cukup berhasil meningkatkan derajat kesehatan. Namun demikian derajat kesehatan di Indonesia masih terhitung rendah apabila dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Permasalahan utama yang dihadapi adalah rendahnya kualitas kesehatan penduduk yang antara lain ditunjukkan dengan masih tingginya angka kematian bayi, anak, balita, dan ibu, serta tingginya proporsi balita yang menderita gizi kurang. Masih tingginya angka kematian tersebut diakibatkan beberapa penyakit menular serta kecenderungan semakin meningkatnya penyakit tidak menular, kesenjangan kualitas kesehatan, dan akses terhadap pelayanan kesehatan yang kurang bermutu antar wilayah/daerah, gender, dan antar kelompok status sosial ekonomi, belum memadainya jumlah tenaga kesehatan, penyebaran, komposisi, dan mutu, serta terbatasnya sumber pembiayaan kesehatan dan belum optimalnya alokasi pembiayaan kesehatan (Departemen Kesehatan RI, 2005).
Untuk dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, banyak hal yang perlu diperhatikan, salah satu diantaranya yang dipandang mempunyai peranan yang cukup penting ialah menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Adapun yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan ialah upaya yang diselenggarakan secara mandiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perseorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat. (Saifuddin AB, 2006).
Upaya pemerintah yang nyata guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat salah satunya difokuskan pada program kesehatan ibu dan anak di setiap layanan kesehatan. Program kesehatan ibu dan anak yang telah dilaksanakan selama ini bertujuan untuk meningkatkan status derajat kesehatan ibu dan anak serta menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Untuk itu diperlukan upaya pengelolaan program kesehatan ibu dan anak yang bertujuan untuk memanfaatkan dan meningkatkan jangkauan serta mutu pelayanan kesehatan ibu dan anak secara efektif dan efisien (Departemen Kesehatan RI, 2008).
Kondisi derajat kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih memprihatinkan, antara lain ditandai dengan masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2007, AKI di Indonesia menunjukkan angka 248 per 100.000 kelahiran hidup, AKB menunjukkan angka yang masih tinggi yaitu 34 per 100.000 kelahiran hidup, penyebab kematian bayi baru lahir salah satunya disebabkan oleh asfiksia (27%) (SKRT, 2007) yang merupakan penyebab kedua kematian bayi baru lahir setelah BBLR (Departemen Kesehatan RI, 2008).
Di Provinsi Jawa Barat tahun 2007 Angka Kematian Ibu menunjukkan angka yang cukup tinggi mencapai 98 per 1.000 kelahiran hidup, dengan Angka Kematian Bayi tahun 2008 sedikitnya mencapai 38 per 1.000 kelahiran hidup. Penyebab kematian bayi baru lahir salah satunya akibat hipoksia intra uterus dan asfiksia lahir (29,39 %) (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2008).
Angka Kematian Ibu maternal pada tahun 2008 di Kabupaten Majalengka sebesar 131 per 1000 kelahiran hidup diantaranya disebabkan akibat perdarahan (25%), eklampsi (7,14%), infeksi (7,14%), dan faktor lain (60,71%) . Jumlah kasus kematian bayi mencapai 106 per 1000 kelahiran hidup dengan penyebab utama terbesar akibat Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) (24,5%) dan Intra Uterin Fetal Death (IUFD) (22,9%) dan asfiksia (8,11%) (Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, 2009).
Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi yang tidak dapat bernafas spontan dan teratur setelah lahir lahir atau beberapa saat setelah lahir dan dapat menimbulkan komplikasi (Bagus I, 2005).
Berdasarkan data hasil rekam medik Di BRSUD Cideres tahun 2009 dari jumlah 607 sebanyak 96 bayi dengan kejadian asfiksia (15,82%). Di RSUD Majalengka pada tahun 2008 diketahui dari jumlah bayi yang dirawat sebanyak 789 bayi didapatkan dengan kejadian asfiksia sebanyak 136 bayi (17,24%), sedangkan pada tahun 2009 dari jumlah bayi yang dirawat sebanyak 1159 terdapat bayi normal (4,47%), asfiksia (16,31%), BBLR (14,92%), dan faktor lain (67,23%) dengan angka kematian bayi akibat asfiksia sebanyak 36 bayi (19,1%).
Hal ini menunjukkan kejadian asfiksia di RSUD Majalengka (16,31%) lebih tinggi dibandingkan dengan kejadian asfiksia di BRSUD Cideres (15,82%). Pada penelitian ini diprediksi faktor-faktor yang menyebabkan asfiksia di objek penelitian diantaranya berhubungan dengan berat badan lahir, jenis persalinan, dan jarak rumah ke tempat pelayanan kesehatan dan lain-lain..
Faktor-faktor yang menyebabkan kejadian asfiksia diantaranya faktor ibu, faktor tali pusat, dan faktor bayi Adanya hipoksia dan iskemia jaringan menyebabkan perubahan fungsional dan biokimia pada janin. Faktor ini yang berperan pada kejadian asfiksia (JNPK-KR, 2007).
Berdasarkan hal itu maka peneliti tertarik untuk mengangkat masalah tersebut dalam penelitian yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian Asfiksia Di RSUD Majalengka Tahun 2009”

1.2 Rumusan Masalah
Hasil rekam medik di RSUD Majalengka tahun 2009 kajadian asfiksia (16,31%) dari jumlah bayi yang dirawat sebanyak 1159 dengan angka kematian bayi akibat asfiksia sebanyak 36 bayi (19,1%). Sehingga rumusan masalahnya adalah “Adakah faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian asfiksia di RSUD Majalengka tahun 2009?”

1.3 Ruang Lingkup
Ruang lingkup dalam penelitian ini yang dibatasi pada faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian asfiksia adalah berat badan lahir bayi, jenis persalinan ibu, dan jarak rumah ke tempat pelayanan kesehatan. Data yang diteliti adalah data sekunder berupa data register bayi di RSUD Majalengka tahun 2009.

1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian asfiksia di RSUD Majalengka tahun 2009.
1.4.2 Tujuan Khusus
1.4.2.1 Diketahuinya gambaran kejadian asfiksia di RSUD Majalengka tahun 2009.
1.4.2.2 Diketahuinya gambaran faktor yang berhubungan dengan kejadian asfiksia (berat badan lahir bayi, jenis persalinan, dan jarak rumah) di RSUD Majalengka tahun 2009.
1.4.2.3 Diketahuinya hubungan antara berat badan lahir bayi dengan kejadian asfiksia di RSUD Majalengka tahun 2009.
1.4.2.4 Diketahuinya hubungan antara jenis persalinan ibu dengan kejadian asfiksia di RSUD Majalengka tahun 2009.
1.4.2.5 Diketahuinya hubungan antara jarak rumah ke tempat persalinan dengan kejadian asfiksia di RSUD Majalengka tahun 2009.

1.5 Manfaat
2.1.1 Bagi Institusi Pendidikan
Menambah literature kepustakaan STIKes YPIB Majalengka tentang faktor-faktor yang menyebabkan asfiksia.
2.1.2 Bagi Lahan Praktek
Sebagai bahan informasi untuk lahan penelitian agar dapat menjadi acuan untuk dipedomani dalam meningkatkan program pelayanan kesehatan yang lebih baik.
2.1.3 Bagi Masyarakat
Sebagai tambahan wawasan dan ilmu pengetahuan tentang kesehatan, terutama dalam meningkatkan peran serta masyarakat terhadap pelayanan kesehatan.

lihat artikel selengkapnya - Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Asfiksia Di RS
iklan2

iklan0
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pengetahuan Masyarakat Tentang Poskesdes

iklan1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pembangunan kesehatan merupakan bagian dari pembangunan yang bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pembangunan kesehatan tersebut merupakan upaya seluruh potensi bangsa Indonesia baik masyarakat, swasta, maupun pemerintah. (Depkes RI, 2007 : 1)
Untuk meningkatkan derajat kesehatan yang optimal maka Departemen Kesehatan RI mempunyai target dengan Indonesia Sehat 2010. Tujuan pembangunan Indonesia Sehat 2010 adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan secara optimal melalui terciptanya masyarakat, bangsa, dan Negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dengan perilaku sehat dan dalam lingkungan yang sehat, memiliki kemampuan kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata di seluruh wilayah Indonesia (Depkes RI, 2007 :1)
Dalam rangka terciptanya masyarakat dengan derajat kesehatan yang optimal tersebut yaitu masyarakat harus memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, salah satunya adalah pemanfaatan poskesdes di wilayahnya.
Desa Siaga merupakan gambaran masyarakat yang sadar, mau dan mampu untuk mencegah dan mengatasi berbagai ancaman terhadap kesehatan masyarakat seperti kurang gizi, penyakit menular, dan penyakit yang berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa (KLB), bencana, kecelakaan, dan lain-lain dengan memanfaatkan potensi setempat, secara gotong royong. Pengembangan Desa Siaga mencakup upaya untuk lebih mendekatkan pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat desa, menyiapsiagakan masyarakat menghadapi masalah-masalah kesehatan, memandirikan masyarakat dalam mengembangkan perilaku hidup bersih dan sehat (Depkes RI, 2007, pedoman : 4)
Di Kabupaten Majalengka tahun 2008 terdapat 334 desa diantaranya sebanyak 164 desa telah menjadi desa siaga. Sedangkan sisanya sebanyak 170 desa belum menjadi desa siaga. (Dinkes Kab. Majalengka, 2009, lamp.63A)
Salah satu kriteria Desa Siaga adalah apabila desa tersebut telah memiliki sekurang-kurangnya sebuah Pos Kesehatan Desa (Poskesdes). Poskesdes merupakan upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat (UKBM) yang dibentuk di desa dalam rangka mendekatkan atau menyediakan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat desa. Adapun pelayanannya meliputi upaya-upaya promotif, preventif dan kuratif yang dilaksanakan oleh tenaga kesehatan (terutama bidan) dengan melibatkan kader atau tenaga sukarela lainnya (Depkes RI, 2007, pedoman : 9)
Salah satu indicator keberhasilan program poskesdes yang dilaksanakan dapat diukur dengan melihat peran serta masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, khususnya ibu hamil pada cakupan K4. Adapun cakupan kunjungan ibu hamil dari data hasil pencatatan dan pelaporan Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka tahun 2008 yaitu :
Tabel 1.1 Cakupan Kunjungan Ibu Hamil K4 Kabupaten Majalengka Tahun 2008
No Puskesmas Jml Ibu Hamil K4 %
1 Lemahsugih 1079 945 87.58
2 Bantarujeg 694 580 83.57
3 Cikijing 1123 1019 90.74
4 Cingambul 663 671 101.21
5 Talaga 799 509 63.70
6 Banjaran 449 204 45.43
7 Argapura 642 391 60.90
8 Maja 907 894 98.57
9 Majalengka 622 504 81.03
10 Munjul 643 357 55.52
11 Cigasong 601 467 77.70
12 Sukahaji 529 503 95.09
13 Salagedang 487 278 57.08
14 Rajagaluh 807 717 88.85
15 Sindangwangi 575 330 57.39
16 Leuwimunding 1183 980 82.84
17 Waringin 910 781 85.82
18 Jatiwangi 861 745 86.53
19 Loji 714 452 63.31
20 Kasokandel 886 851 96.05
21 Panyingkiran 553 439 79.39
22 Kadipaten 834 631 75.66
23 Kertajati 452 257 56.86
24 Sukamulya 361 230 63.71
25 Jatitujuh 599 379 63.27
26 Panongan 396 255 64.39
27 Ligung 1171 733 62.60
28 Sumberjaya 1109 723 65.19
29 Malausma 915 652 71.26
30 Balida 839 371 44.22
22403 16848 75.20
(Sumber Seksi KIA dan Usila Dinkes Kab. Majalengka, 2009)
Dari tabel 1.1 menunjukkan cakupan K4 di Kabupaten Majalengka sebesar 75,20%, sedangkan di Wilayah kerja UPTD Puskesmas Balida merupakan wilayah kerja dengan persentase K4 terendah sebesar 44,22%. Desa Gandu merupakan salah satu desa yang ada di wilayah kerja UPTD Pukesmas Balida dengan cakupan K4 terendah (54,8%) diantara desa lain yang sudah memiliki poskesdes.
Berdasarkan data kunjungan tersebut, masyarakat belum sepenuhnya memanfaatkan keberadaan poskesdes di wilayahnya. Salah satu penyebabnya dimungkinkan karena pengetahuan masyarakat tentang poskesdes masih kurang sehingga penulis merasa tertarik untuk meneliti tentang “Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Pengetahuan Masyarakat Tentang Poskesdes Di Desa Gandu Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Balida Kabupaten Majalengka Tahun 2010”.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini yaitu belum diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan pengetahuan masyarakat tentang Poskesdes Di Desa Gandu Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Balida Kabupaten Majalengka Tahun 2010.

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan pengetahuan masyarakat tentang Poskesdes Di Desa Gandu Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Balida Kabupaten Majalengka Tahun 2010.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Diketahuinya gambaran pengetahuan masyarakat tentang Poskesdes Di Desa Gandu Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Balida Kabupaten Majalengka Tahun 2010.
1.3.2.2 Diketahuinya gambaran pendidikan masyarakat Di Desa Gandu Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Balida Kabupaten Majalengka Tahun 2010
1.3.2.3 Diketahuinya gambaran pekerjaan masyarakat Di Desa Gandu Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Balida Kabupaten Majalengka Tahun 2010
1.3.2.4 Diketahuinya gambaran umur masyarakat Di Desa Gandu Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Balida Kabupaten Majalengka Tahun 2010
1.3.2.5 Diketahuinya gambaran pendapatan masyarakat Di Desa Gandu Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Balida Kabupaten Majalengka Tahun 2010
1.3.2.6 Diketahuinya hubungan antara pendidikan dengan pengetahuan masyarakat tentang Poskesdes Di Desa Gandu Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Balida Kabupaten Majalengka Tahun 2010.
1.3.2.7 Diketahuinya hubungan antara pekerjaan dengan pengetahuan masyarakat tentang Poskesdes Di Desa Gandu Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Balida Kabupaten Majalengka Tahun 2010.
1.3.2.8 Diketahuinya hubungan antara umur dengan pengetahuan masyarakat tentang Poskesdes Di Desa Gandu Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Balida Kabupaten Majalengka Tahun 2010.
1.3.2.9 Diketahuinya hubungan antara pendapatan dengan pengetahuan masyarakat tentang Poskesdes Di Desa Gandu Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Balida Kabupaten Majalengka Tahun 2010.

1.4 Ruang Lingkup
Ruang lingkup permasalahan pada penelitian ini dibatasi pada masalah factor yang mempengaruhi pengetahuan meliputi pendidikan, pekerjaan, umur dan pendapatan. Untuk kemudian factor-faktor tersebut dicari hubungannya dengan pengetahuan masyarakat tentang poskesdes di objek penelitian yaitu di Desa Gandu.

1.5 Manfaat
1.5.1 Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan
Sebagai informasi untuk tenaga kesehatan yang berperan sebagai pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat sehingga dapat meningkatkan pelayanannya menjadi lebih optimal.
1.5.2 Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai dokumentasi dan bahan perbandingan untuk penelitian selanjutnya dalam penelitian sejenis sehingga diperoleh penelitian yang lebih baik.
1.5.3 Bagi Penulis
Untuk menambah wawasan dan pengalaman dalam penelitian mengenai pengetahuan masyarakat tentang poskesdes serta sebagai bahan untuk penerapan ilmu metode penelitian dalam bidang kesehatan.

lihat artikel selengkapnya - Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pengetahuan Masyarakat Tentang Poskesdes
iklan2

iklan0
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Puskesmas

iklan1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pneumonia adalah proses akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Terjadinya Pneumonia pada balita seringkali bersamaan dengan proses infeksi akut bronkus (Broncho Pneumonia). Gejala penyakit ini berupa nafas cepat dan nafas sesak, karena paru meradang secara mendadak. Batas nafas cepat adalah frekuensi pernafasan sebanyak 50 kali permenit atau lebih pada anak usia 2 buan sampai kurang dari 1 tahun, dan 40 kali permenit atau lebih pada anak usia 1 tahun sampai kurang dari 5 tahun. Pada anak usia dibawah 2 bulan, tidak dikenal diagnosis Pneumonia.(Afifah Tin,dkk.,2003.)
Program pemberantasan ISPA secara khusus telah dimulai sejak tahun 1984, dengan tujuan berupaya untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian khususnya pada bayi dan anak balita yang disebabkan oleh ISPA.
Usaha peningkatan kesehatan masyarakat pada kenyataannya tidaklah mudah seperti membalikkan telapak tangan saja, karena masalah ini sangatlah kompleks, di mana penyakit yang terbanyak di derita oleh masyarakat terutama pada yang paling rawan yaitu ibu dan anak, ibu hamil dan ibu meneteki serta anak bawah lima tahun.(Arikunto,s.2006.)
Salah satu penyakit yang diderita oleh masyarakat terutama adalah ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) yaitu meliputi infeksi akut saluran pernafasan bagian atas dan infeksi akut saluran pernafasan bawah. ISPA adalah suatu penyakit yang terbanyak di derita oleh anak-anak, baik di negara berkembang maupun di negara maju dan sudah mampu dan banyak dari mereka perlu masuk Rumah Sakit karena penyakitnya cukup gawat. Penyakit – penyakit saluran pernafasan pada masa bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacatan sampai pada masa dewasa. Di mana ditemukan adanya hubungan dengan terjadinya Chronic Obstructive Pulmonary Disease.(Depkes RI.2000).
ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang penting karena menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4 kematian yang terjadi. Setiap anak di perkirakan mengalami 3-6 episode ISPA setiap tahunnya.
Penyakit ISPA, sering terjadi pada anak – anak, bahkan di negara-negara berkembang. Penyakit ISPA ini merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada anak. Di sebabkan oleh infeksi saluran pernafasan bawah akut (ISPA) paling sering adalah Pneumonia P2 ISPA balita sebagai target penemuan penderita Pneumonia balita pertahun dihitung dari jumlah penduduk usia balita pada suatu wilayah.
Secara teoritis diperkirakan 10 % penderita pneumonia akan menigggal bila tidak diobati (depkes Ri, 1996) Sebagian besar kematian tersebut di picu oleh ISPA bagian bawah (Pneumonia). Tetapi masyarakat yang masih awam dengan gangguan itu.
Sebagian besar kematian tersebut dipicu oleh ISPA bagian bawah (Pneumonia). Tetapi masyarakat yang masih awam dengan gangguan itu. Penyakit ISPA dapat menyerang jaringan paru-paru dan penderita pun cepat meninggal akibat Pneumonia berat, namun tidak cepat di tolong. Karena memang akibat ketidaktahuan masyarakat tentang kelainan itu.
Pneumonia adalah proses akut yang mengenai jaringan paru-paru (Alveoli). Terjadinya Pneumonia pada balita seringkali bersamaan dengan proses infeksi akut bronkus (Broncho Pneumonia). Gejala penyakit ini berupa nafas cepat dan nafas sesak, karena paru meradang secara mendadak. Batas nafas cepat adalah frekuensi pernafasan sebanyak 50 kali permenit atau lebih pada anak usia 2 bulan sampai kurang dari 1 tahun, dan 40 kali permenit atau lebih pada anak usia 1 tahun sampai kurang dari 5 tahun. Pada anak usia di bawah 2 bulan, tidak di kenal diagnosis Pneumonia.
Mengutip hasil survei kesehatan rumah tangga 1995 yang melaporkan proporsi kematian anak akibat penyakit sistem pernafasan adalah 2,1%, sementara pada balita 38,8%. Berdasarkan Program Pembangunan Nasional (Propenas ) bidang kesehatan, angka kematian bayi dari 5/1.000 pada tahun 2000 akan diturunkan menjadi 3/1.000 pada akhir tahun 2005.
Di Sidomulyo ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di Sarana Kesehatan. Pasien yang berobat ke Puskesmas sebanyak 40-60 %. Kunjungan di bagian rawat jalan dan rawat inap Rumah Sakit sekitar 15-20 %.
Hidup serumah dengan perokok juga menjadi faktor penyebab penyakit ISPA anak. Hasil penelitian di sumedang jaw barat tahun 2001, menyatakan bahwa 23% penyakit ISPA pada anak balita disebabkan oleh pendeita hidup serumah dengan perokok.
Penyakit ISPA mencakup penyakit saluran napas bagian atas (ISPA) dan saluran nafas bagian bawah (ISPA) beserta adneksanya. ISPA mengakibatkan kematian pada anak dalam jumlah kecil, tetapi dapat menyebabkan kecacatan misalnya stitis media yang merupakan penyebab ketulian. Sedangkan hampir seluruh kematian karena ISPA pada anak kecil disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan bawah akut (ISPA), Paling sering adalah pneumonia (WHO 2003). Kematian akibat pneumonia sebagai penyebab utama ISPA di Indonesia pada akhir tahun 2000 sebanyak lima kasus diantara 1.000 balita (Depkes, 2003).
Kejadian ISPA di wilayah Provinsi Gorontalo masih terhitung tinggi, hal ini terlihat bahwa kasus ISPA sesuai data dari Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo pada tahun 2009 sebanyak 28.322 kasus, dan khususnya di Kabupaten.
Di Kabupaten Gorontalo jelas penderita ISPA tahun 2007 sebanyak 298 kasus, tahun 2008 terdapat 569 balita dan tahun 2009 sebanyak 610 kasus, laporan dari catatan medis di Puskesmas Sidomulyo tahun 2007 terdapat 198 kasus penyakit ISPA, Pada tahun 2008 terdapat 489 kasus penyakit ISPA dan tahun 2009 terdapat 551kasus penyakit ISPA pada balita di wilayah kerja Puskemas Sidomulyo Kabupaten Gorontalo Tahun 2009

B. Perumusan Masalah
Bagaimana hubungan kejadian ISPA pada balita berdasarkan status Imunsasi, pemberian ASI eklusif dan faktor lingkungan di wilayah Kerja Puskesmas Sidomulyo Kabupaten Gorontalo Tahun 2009.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor – faktor yang berhubugan dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah Kerja Puskesmas Sidomulyo Kabupaten Gorontalo Tahun 2009.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui hubungan status Imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita.
b. Untuk mengetahui hubungan pemberian ASI Ekslusif dengan kejadian ISPA pada balita.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Institusi
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan dan informasi bagi Instansi terkait.
2. Manfaat Ilmiah
Sebagai bahan masukan dan informasi bagi pihak – pihak yang ingin mengadakan penelitian lebih lanjut terhadap persoalan yang sama.
3. Manfaat Praktis
Penelitian ini merupakan pengalaman yang sangat berharga dalam memperluas wawasan keilmuwan dan menetapkan upaya pencegahan.

lihat artikel selengkapnya - Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Puskesmas
iklan2

iklan0
pelaksanaan Sumber Daya Manusia di Puskesmas

iklan1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam era moderenisasi sekarang ini, Sumber Daya Manusia yang berkualitas dan professional merupakan kunci utama dalam tumbuh kembangnya sebuah organisasi. Karena itu, sumber daya manusia perlu di manajemen secara optimal sehingga kuantitas SDM yang ada dalam organisasi benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan bisa menjadi asset organisasi dalam memenangkan persaingan bisinis.(Sondang P. Siagian, 2008)
Memahami perencanaan Sumber Daya Manusia sebagai rangkaian beberapa perkataan diperlukan pemahaman mengenai kata “perencanaan” sebagai kata kunci lepas dari perkataan Sumber Daya Manusia. Pemahaman ini sangat penting karena sejak penghujung abad XX hingga memasuki awal abad XXI “perencanaan” telah dikembangkan menjadi bidang ilmu yang lepas dari manajemen dengan bidang gerapan atau objek formal yang berdiri sendiri. (Marihot, 2002)
Untuk memahami kegiatan Sumber Daya Manusia perlu dibedakan antara pengertian secara makro dan mikro. Pengertian SDM secara makro adalah semua manusia sebagai penduduk atau warga Negara suatu Negara atau dalam suatu batas wilayah tertentu yang sudah memasuki usia angkatan kerja, baik yang sudah maupun belum memperoleh pekerjaan. Disamping itu SDM secara makro berarti juga penduduk yang sudah berada dalam usia produktif, meskipun karena berbagai sebab dan masalah masih terdapat yang belum produktif karena belum memasuki lapangan kerja yang terdapat di masyarakatnya. SDM dalam arti mikro secara sederhana adalah manusia atau orang ytang bekerja atau yang menjadi anggota suatu organisasi yang disebut personil, pegawai, karyawan, pekerja, tenaga kerja dan lain-lain. (Marihot, 2002).
Adapun Visi dari sumber daya kesehatan professional dan merata dalam mewujudkan Indonesia 2010. sedangkan misi dari Sumber Daya Kesehatan sebagai berikut
Merumuskan kebijakan pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia kesehatan. Kebijakan-kebijakan yang tepat dikembangkan adalah pengaturan pembinaan dan pengawasan SDM kesehatan, dalam hal perencanaan, produksi, distribusi, kewenangan profesi,, kompetensi, SDM kesehatan dan pengembangan karir.
1. Meningkatkan manajemen SDM kesehatan. Keberhasilan badan PPSDM kesehatan menjalankan tugas fungsinya tergantung dari efektivitas dan efesiensi manajemen yang dijalankan, termasuk perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan/pengendalian.
2. Memelihara dan meningkatkan mutu sumber daya manusia kesehatan. Badan PPSDM kesehatan berupaya agar SDM kesehatan dapat memiliki mutu yang baik, sehingga mempunyai kemandirian, akuntabilitas, memiliki, sifat kewirausahaan dan daya saing yang tinggi baik di dalam maupun di luar negeri.
3. Mendorong kemandirian profesi kesehatan. Badan PPSDM kesehatan medndorong dan menetapkan kewenangan profesi melalui berbagai upaya seperti mendorong keberadaan profesi kesehatan, pemberlakuan legilisasi melalui registrasi, sertifikasi dan lisensi dalam rangka melindungi masyarakat untuk memperoleh pelayanan yang bermutu.
Usaha peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam bidang kesehatan mutlak diperhatikan khususnya dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah dalam menciptakan tenaga-tenaga kesehatan yang mempunyai kualitas serta mempunyai dedikasi yang tinggi dalam mengabdikan dirinya sebagai agen-agen kesehatan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Perubahan manajemen SDM kesehatan diera desentralisasi sekarang ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas kinerja sector kesehatan yang pada akhirnya meningkatkan derajat kesehatan penduduk. Hal ini hanya dapat dicapai dengan memberikan otoritas kepada daerah untuk menentukan prioritas dan kebijakan yang seterusnya merancang bentuk struktur dan pembiayaan kesehatan yang cocok dengan perubahan yang di tuntut. Untuk menghadapi era desentralisasi, seluruh manajer kesehatan harus mampu, tegar dan meyakinkan bahwa mereka dapat mengelola SDM yang baik dari aspek kualitas dan kuantitas untuk menjalankan program kesehatan setelah desentralisasi.
Sistem untuk menilai, memberikan pengembangan SDM sebagai jantung manajemen SDM. Evaluasi kinerja telah digunakan sebagai unsur yang esensial bagi efektivitas manajemen sumber daya manusia (MSDM) dalam organisasi. (Surya Dharma, 2009)
Meningkatnya pengakuan secara luas atas penggunaan evaluasi kinerja telah dilaporkan oleh berbagai studi di negara maju, misalnya di inggris 3 (tiga) survey terbesar tentang praktik evaluasi kinerja dilaksanakan oleh Institute of Personnel Management. Dari 360 organisasi yang disurvey di inggris meliputi organisasi industri, bisnis, dan publik terdapat 74% organisasi menggunakan sistem evaluasi kinerja dan 26 tidak menggunakannya. Sementara survey terdapat 244 organisasi di Amerika menunjukkan sekitar 91% menggunakan sistem evaluasi kinerja secara formal (Anderson, 1993).
Rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia dapat dilihat dari Human Development Indonesia (HDI) jauh tertinggal dengan Negara lainnya. Indonesia menempati urutan 102 sedangkan Negara ASEAN lainnya berada pada peringkat 34 hingga 53 dengan indeks 0,66 ( Abbas,2000). Masih tertinggalnya kualitas SDM tercermin pula pada sarjana sains dan teknologi kurang lebih 0,5% penduduk selama 22 tahun sedang Taiwan, Korea Selatan dan Jepang pada tahun 1990 telah mencapai 4,2% sampai 6,0% (Soekirman, 1995).
Melihat kondisi tersebut maka tenaga yang lebih diberdayakan menngingat tenaga kesehatan merupakan unsur masukan (input dari system pembangunan kesehatan) karena keberhasilan pembangunan di tentukan oleh tersedianya Sumber Daya Manusia berupa tenaga kesehatan yang memiliki kemampuan kompetensi dan profesionalisme yang tinggi. (Depkes. 2000).
Dalam upaya untuk meningkatkan sumber daya manusia maka perlu dilakukan pendidikan dan pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM), alasannya adalah karena munculnya paradigma baru manajemen yang memperlakukan SDM sebagai factor utama produktivitas dan keunggulan organisasi. Alasan praktis adalah persaingan global kian meningkat, menuju kepasar bebas, kinerja bangsa yang relative rendah dibandingkan dengan kinerja bangsa-bangsa lainnya termasuk keluarga ASEAN, Kinerja organisasi baik bisnis maupun public yang rendah yang menyumbangkan rendahnya kinerja bangsa, Kinerja individu yang rendah di dalam masing-masing organisasi.
Sistem informasi perencanaan SDM merupakan sebuah metode organisasi untuk mengumpulkan, memelihara, menganalisa, dan melaporkan informasi tenaga kerja dan pekerjaannya. Manajer perusahaan membutuhkan data yang akurat, relevan, dan terkini dalam membuat suatu keputusan, informasi yang disajikan harus sesuai dengan kebutuhan manajemen untuk mengambil keputusan strategi maupun opersioanal. Kegunaan sistem informasi perencanaan SDM adalah untuk pengembangan inventaris SDM untuk perencanaan SDM (Anwar Prabu, 2003).
Penggunaan sumber-sumber daya manusia di indonesia dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut (Basir Barthos, 2001) :
a. Sumber-sumber daya manusia masih menjadi penghambat pertumbuhan perekonomian nasional. Dengan makin baiknya produktivitas tenaga kerja, maka kesempatan kerja akan makin berkurang, sedangkan angkatan kerja tetap meningkat. Tendensi yang demikian disatu pihak akan menguntungkan konsumen dengan adanya barang-barang produksi yang lebih murah tetapi dilain pihak tambahan angkatan kerja baru akan mengalami kesukaran didalam mencari pekerjaan.
b. Terdapat perubahan dildalam sumber pertambahan angkatan kerja di sebabkan oleh meningkatnya parsitipasi angkatan kerja disebabkan oleh meningkatnya partisipasi angkatan kerja wanita.
c. Terjadinya perubahan-perubahan yang berarti di dalam komposisi profesi dan kualifikasi tenaga kerja.
d. Penggunaan sumber daya manusia di dalam pembangunan nasional sekarang ini menuntut adanya suatu mekanisme yang memberi dorongan ekonomi bagi tenaga kerja untuk bekerja didaerah-daerah dan sektor-sektor yang diperlukan.
Berikut ini adalah sebuah contoh dari daftar kompotensi yang dipergunakan oleh Standard Chartered (Amstrong, 1994) dalam manajemen kinerja organisasinya :
a. Pengetahuan kerja dan profesional
b. Kesadaran organisasi / konsumen
c. Komunikasi
d. Kerja sama tim
e. Kemampuan beradaptasi
f. Kualitas
g. Manajemen
h. kepemimpinan

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana studi pelaksanaan Sumber Daya Manusia di Puskesmas Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk memperoleh informasi tentang pelaksanaan pengembangan sumber daya manusia di Puskesmas Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk memperoleh informasi pelaksanaan pengembangan sumber daya manusia di Puskesmas Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara melalui pendidikan.
b. Untuk memperoleh informasi pelaksanaan pengembangan sumber daya manusia di Puskesmas Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara melalui pelatihan.
c. Untuk memperoleh informasi mengenai pelaksanaan pengembangan Kepegawaian diPuskesmas Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara melalui motivasi.
d. Untuk memperoleh informasi mengenai pelaksanaan pengembangan pegawai di Puskesmas Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara Melaui Poromosi.

E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Bagi pengembangan ilmu pengetahuan
Hasil penelitian ini di harapkan dapat menambah ilmu pengetahuan terutama berkaitan dengan pelaksanaan pengembangan Sumber Daya Manusia.
2. Manfaat bagi program pelayanan kesehatan
Hasil penelitian ini diharapakan menjadi salah satu bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo Utara.
3. Manfaat bagi peneliti
Merupakan pengalaman yang sangat berharga dalam rangka memperluas wawasan keilmuan.

lihat artikel selengkapnya - pelaksanaan Sumber Daya Manusia di Puskesmas
iklan2

iklan0
Faktor Risiko kejadian Gizi Kurang Pada Balita Di Tinjau Dari Pola Makan, Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu Dan Penyakit Infeksi

iklan1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan di bidang kesehatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari pembangunan kesejahteraan bangsa secara berkesinambungan, terus menerus dilakukan bangsa Indonesia untuk menggapai cita-cita luhur, yakni terciptanya masyarakat yang adil dan makmur, baik spiritual maupun material. GBHN 1999 mengamanatkan perlunya meningkatkan mutu sumber daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung melalui pendekatan paradigma sehat, dengan memberikan prioritas pada upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, penyembuhan , pemulihan, dan rehabilitasi (Aditama dan Hastuti, 2006).
Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas. Bukti empiris menunjukkan bahwa hal ini sangat ditentukan oleh status gizi yang baik. Status gizi yang baik ditentukan oleh jumlah asupan pangan yang dikonsumsi. Masalah gizi kurang dan buruk dipengaruhi langsung oleh faktor konsumsi pangan dan penyakit infeksi. Secara tidak langsung dipengaruhi oleh pola asuh, ketersediaan pangan, faktor sosial ekonomi, budaya dan politik. Apabila gizi kurang dan gizi buruk terus terjadi dapat menjadi faktor penghambat dalam pembangunan nasional. Secara perlahan kekurangan gizi akan berdampak pada tingginya angka kematian ibu, bayi, dan balita, serta rendahnya umur harapan hidup. Selain itu, dampak kekurangan gizi terlihat juga pada rendahnya partisipasi sekolah, rendahnya pendidikan, serta lambatnya pertumbuhan ekonomi (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2007 ).
Kesepakatan global berupa Millenium Development Goals (MDGS) yang terdiri dari 8 tujuan, 18 target dan 48 indikator, menegaskan bahwa pada tahun 2015 setiap negara menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi pada tahun 1990. Untuk Indonesia, indikator yang digunakan adalah peresentase anak berusia di bawah 5 tahun (balita) yang mengalami gizi buruk (severe underweight) dan persentase anak-anak berusia 5 tahun (balita) yang mengalami gizi kurang (moderate underweight) (Ariani, 2007).
Salah satu masalah pokok kesehatan di negara sedang berkembang adalah masalah gangguan terhadap kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh kekurangan gizi. Masalah gizi di Indonesia masih didominasi oleh masalah Kurang Energi Protein (KEP), Anemia zat Besi, Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), dan kurang Vitamin A (KVA). Penyakit kekurangan gizi banyak ditemui pada masyarakat golongan rentan, yaitu golongan yang mudah sekali menderita akibat kurang giuzi dan juga kekurangan zat makanan. Penyakit gizi kurang banyak ditemui pada masyarakat golongan rentan, yaitu golongan yang mudah sekali menderita akibat kurang gizi dan juga kekurangan zat makanan (Syahmien Moehji, 2005).
Kebutuhan setiap orang akan makanan tidak sama, karena kebutuhan akan berbagai zat gizi juga berbeda. Umur, Jenis kelamin, macam pekerjaan dan faktor-faktor lain menentukan kebutuhan masing-masing orang akan zat gizi. Anak balita (bawah lima tahun) merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan badan yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya. Anak balita ini justru merupakan kelompok umur yang paling sering dan sangat rawan menderita akibat kekurangan gizi yaitu KEP.
Kurang gizi atau gizi buruk dinyatakan sebagai penyebab tewasnya 3,5 juta anak di bawah usia lima tahun (balita) di dunia. Mayoritas kasus fatal gizi buruk berada di 20 negara, yang merupakan negara target bantuan untuk masalah pangan dan nutrisi. Negara tersebut meliputi wilayah Afrika, Asia Selatan, Myanmar, Korea Utara, dan Indonesia. Hasil penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal kesehatan Inggris The Lanchet ini mengungkapkan, kebanyakan kasus fatal tersebut secara tidak langsung menimpa keluarga miskin yang tidak mampu atau lambat untuk berobat, kekurangan vitamin A dan Zinc selama ibu mengandung balita, serta menimpa anak pada usia dua tahun pertama. Angka kematian balita karena gizi buruk ini terhitung lebih dari sepertiga kasus kematian anak di seluruh dunia (Malik, 2008).
Kekurangan gizi merupakan salah satu penyebab tingginya kematian pada bayi dan anak. Apabila anak kekurangan gizi dalam hal zat karbohidrat (zat tenaga) dan protein (zat pembangun) akan berakibat anak menderita kekurangan gizi yang disebut KEP tingkat ringan dan sedang, apabila hal ini berlanjut lama maka akan berakibat terganggunya pertumbuhan, terganggunya perkembangan mental, menyebabkan terganggunya sistem pertahanan tubuh, hingga menjadikan penderita KEP tingkat berat sehingga sangat mudah terserang penyakit dan dapat berakibat kematian (Syahmien Moehji, 2005).
Berbagai penelitian membuktikan lebih dari separuh kematian bayi dan balita disebabkan oleh keadaan gizi yang jelek. Risiko meninggal dari anak yang bergizi buruk 13 kali lebih besar dibandingkan anak yang normal. WHO memperkirakan bahwa 54% penyebab kematian bayi dan balita didasari oleh keadaan gizi anak yang jelek (Irwandy, 2007).
Faktor penyebab langsung terjadinya kekurangan gizi adalah ketidakseimbangan gizi dalam makanan yang dikonsumsi dan terjangkitnya penyakit infeksi. Penyebab tidak langsung adalah ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak dan pelayanan kesehatan. Ketiga faktor tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan keluarga serta tingkat pendapatan keluarga (I Dewa Nyoman Supariasa, 2007).
Faktor ibu memegang peranan penting dalam menyediakan dan menyajikan makanan yang bergizi dalam keluarga, sehingga berpengaruh terhadap status gizi anak (I Dewa Nyoman Supariasa, 2007).
Prevalensi nasional Gizi Buruk pada Balita adalah 5,4%, dan Gizi Kurang pada Balita adalah 13,0%. Keduanya menunjukkan bahwa baik target Rencana Pembangunan Jangka Menengah untuk pencapaian program perbaikan gizi (20%), maupun target Millenium Development Goals pada 2015 (18,5%) telah tercapai pada 2007. Namun demikian, sebanyak 19 provinsi mempunyai prevalensi Gizi Buruk dan Gizi Kurang diatas prevalensi nasional, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat dan Papua (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI, 2008).
Masalah kurang gizi merupakan akibat dari interaksi antara berbagai faktor, akan tetapi yang paling utama adalah dua faktor yaitu konsumsi pangan dan infeksi, adanya ketidakseimbangan antara konsumsi zat energi dan zat protein melalui makanan, baik dari segi kuantitatif dan kualitatif. Dideritanya panyakit infeksi, yang umumnya infeksi saluran pernafasan dan infeksi saluran pencernaan, maka keadaan kurang gizi akan bertambah parah. Namun sebaliknya penyakit-penyakit tersebut dapat bertindak sebagai pemula terjadinya kurang gizi sebagai akibat menurunnya nafsu makan, adanya gangguan penyerapan dalam saluran pencernaan serta meningkatnya kebutuhan gizi akibat adanya penyakit (Syahmien Moehji, 2005).
Selain dari penyebab utama tersebut banyak sekali faktor yang menyebabkan terjadinya masalah kurang gizi yaitu ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga, pola pengasuhan anak, kondisi lingkungan atau penyediaan air bersih serta pelayanan kesehatan yang tidak memadai serta faktor sosial budaya dan ekonomi seperti tingkat pendapatan keluarga, besar anggota keluarga, pantangan atau tabu dalam hal makanan dan adat kebiasaan yang merugikan (Syahmien Moehji, 2005).
Di provinsi gorontalo angka penderita gizi kurang yaitu sebesar 12,75% dari 336.111 balita yang di ukur menurut dinas kesehatan gorontalo tahun 2008.
Berdasarkan data yang diperoleh dari survey Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2008 bahwa jumlah balita di kabupaten Boalemo yaitu 11.657 jiwa, dimana penderita gizi buruk sebanyak 628 (5,4 %) jiwa dan jumlah penderita gizi kurang sebanyak 2.493 (21,4 %) jiwa.
Data mengenai status gizi balita di Puskesmas Dulupi Kecamatan Dulupi tahun 2009 menunjukkan dari sejumlah 823 balita terdapat 426 balita gizi baik, 136 balita gizi kurang (16,16%) dan 11 balita gizi buruk (1,33%). Dari data di atas dapat dilihat bahwa masih tingginya jumlah kasus, baik kasus gizi kurang maupun kasus gizi buruk pada tahun 2009 di wilayah kerja Puskesmas Dulupi. Dari jumlah penderita gizi buruk diatas, dapat dikategorikan masih tinggi dibanding jumlah standar nasional yang ditetapkan yaitu <1% dan untuk kejadian gizi kurang <15%. Penyebab gizi buruk dan gizi kurang di Indonesia sesuai hasil penelitian bermula dari krisis ekonomi, politik dan sosial menimbulkan dampak negatif seperti kemiskinan, pendidikan dan pengetahuan rendah, kesempatan kerja kurang, pola makan, ketersediaan bahan pangan pada tingkat rumah tangga rendah, pola asuh anak yang tidak memadai, pendapatan keluarga yang rendah, sanitasi dan air bersih serta pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai (Unicef, 1999 dalam Khomsan, dkk 2005). Dari latar belakang inilah maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Faktor Risiko kejadian Gizi Kurang Pada Balita Di Tinjau Dari Pola Makan, Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu Dan Penyakit Infeksi. Di Wilayah Kerja Puskesmas Dulupi Kecamatan Dulupi Kabupaten Boalemo tahun 2009. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan sebagai berikut: 1. Berapa besar faktor risiko pola makan terhadap kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Dulupi Kabupaten Boalemo tahun 2009? 2. Berapa besar faktor risiko tingkat pengetahuan gizi ibu dengan kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Dulupi Kabupaten Boalemo tahun 2009? 3. Berapa besar faktor risiko tingkat penyakit infeksi dengan kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Dulupi Kabupaten Boalemo tahun 2009? 4. Berapa besar faktor risiko tingkat pekerjaan orang tua dengan kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Dulupi Kabupaten Boalemo tahun 2009? 5. Berapa besar faktor risiko tingkat pendapatan dengan kejadian gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Dulupi Kabupaten Boalemo tahun 2009? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui faktor risiko kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Dulupi Kecamatan Dulupi Kabupaten Boalemo tahun 2009. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui faktor risiko pola makan terhadap kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Dulupi Kabupaten Boalemo tahun 2009. b. Untuk mengetahui faktor risiko tingkat pengetahuan gizi ibu terhadap kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Dulupi Kabupaten Boalemo tahun 2009. c. Untuk mengetahui faktor risiko penyakit infeksi terhadap kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Dulupi Kabupaten Boalemo tahun 2009. d. Untuk mengetahui faktor risiko tingkat pekerjaan orang tua terhadap kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Dulupi Kabupaten Boalemo tahun 2009. e. Untuk mengetahui faktor risiko pendapatan terhadap kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Dulupi Kabupaten Boalemo tahun 2009. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Ilmiah Hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan menjadi salah satu sumber bacaan bagi para peneliti dimasa yang akan datang. 2. Manfaat Institusi Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Boalemo khususnya bagi Puskesmas Dulupi serta pihak lain dalam menentukan kebijakan untuk menekan dan menangani kasus gizi buruk dan gizi kurang pada bayi/anak balita. 3. Manfaat Praktis Untuk mengetahui dan mendapatkan pengalaman yang nyata dalam melakukan penelitian khususnya mengenai beberapa faktor risiko kejadian gizi kurang pada balita.
lihat artikel selengkapnya - Faktor Risiko kejadian Gizi Kurang Pada Balita Di Tinjau Dari Pola Makan, Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu Dan Penyakit Infeksi
iklan2

iklan0
Faktor Resiko Kejadian ISPA Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas

iklan1
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tujuan pembangunan kesehatan yang telah tercantum pada Sistem Kesehatan Nasional adalah suatu upaya penyelenggaraan kesehatan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia guna mendapatkan kemampuan hidup sehat bagi setiap masyarakat agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal yang mana dikatakan bahwa peningkatan derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu lingkungan, pelayanan kesehatan, tindakan serta bawaan (congenital). Hidup sehat merupakan hak yang dimilki oleh setiap manusia yang ada didunia ini, akan tetapi diperlukan berbagai cara untuk mendapatkannya (Anonim, 2007).
Sebagai upaya untuk mewujudkan visi Indonesia sehat 2010, pemerintah telah menyusun berbagai program pembangunan dalam bidang kesehatan antara lain kegiatan pemberantasan Penyakit Menular (P2M) baik yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif di semua aspek lingkungan kegiatan pelayanan kesehatan.
Untuk dapat mengukur derajat kesehatan masyarakat digunakan beberapa indikator, salah satunya adalah angka kesakitan dan kematian balita. Angka kematian balita yang telah berhasil diturunkan dari 45 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2003 menjadi 44 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2007 (Anonim, 2008).
World Health Organization (WHO) memperkirakan insidens Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada golongan usia balita. Menurut WHO  13 juta anak balita di dunia meninggal setiap tahun dan sebagian besar kematian tersebut terdapat di Negara berkembang, dimana pneumonia merupakan salah satu penyebab utama kematian dengan membunuh  4 juta anak balita setiap tahun (Depkes, 2000 dalam Asrun, 2006).
Di Indonesia, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) selalu menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Selain itu ISPA juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2005 menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan persentase 22,30% dari seluruh kematian balita (Anonim, 2008).
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah proses infeksi akut berlangsung selama 14 hari, yang disebabkan oleh mikroorganisme dan menyerang salah satu bagian, dan atau lebih dari saluran napas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah), termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Anonim, 2007).
Gejala awal yang timbul biasanya berupa batuk pilek, yang kemudian diikuti dengan napas cepat dan napas sesak. Pada tingkat yang lebih berat terjadi kesukaran bernapas, tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun dan meninggal bila tidak segera diobati. Usia Balita adalah kelompok yang paling rentan dengan infeksi saluran pernapasan. Kenyataannya bahwa angka morbiditas dan mortalitas akibat ISPA, masih tinggi pada balita di negara berkembang.
Penemuan penderita ISPA pada balita di Sulawesi Tenggara, sejak tahun 2006 hingga 2008, berturut–turut adalah 74.278 kasus (36,26 %), 62.126 kasus (31,45%), 72.537 kasus (35,94%) (Anonim, 2008). Sedangkan penemuan penderita ISPA pada balita di Kabupaten Konawe dari tahun 2006 hingga 2008, berturut-turut adalah 8.291 kasus (23,63%), 7.671 kasus (28,09%) dan 7.289 kasus (24,63%). Data kesakitan yang dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe tiga tahun terakhir (tahun 2006 sampai dengan tahun 2008), Puskesmas Sampara menduduki urutan kedua tertinggi ISPA dari 24 Puskesmas di Wilayah Kabupaten Konawe. Atas dasar tersebut maka penulis memilih Puskesmas Sampara sebagai lokasi penelitian (Anonim, 2008).
Di Wilayah Kerja Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Sampara, penemuan penderita ISPA pada balita tahun 2006 sebanyak 1.471 kasus (20,29%) dan sebanyak 415 (28,2%) kasus peneumonia. Tahun 2007 sebanyak 1.059 kasus (24,62%) dengan 258 (24,4%) kasus pneumonia. Kasus ISPA pada balita di Puskesmas Sampara pada tahun 2008 ditemukan sebanyak 1.149 dengan 383 (33,3%) kasus pneumonia (Anonim, 2007).
Berdasarkan uraian di atas, penyakit ISPA merupakan salah satu penyakit dengan angka kesakitan dan angka kematian yang cukup tinggi, sehingga dalam penanganannya diperlukan kesadaran yang tinggi baik dari masyarakat maupun petugas, terutama tentang beberapa faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan. Menurut Hendrik Blum dalam Notoatmodjo, 1996, faktor-faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan antara lain faktor lingkungan seperti asap dapur, faktor prilaku seperti kebiasaan merokok keluarga dalam rumah, faktor pelayanan kesehatan seperti status imunisasi, ASI Ekslusif dan BBLR dan faktor keturunan.
Asap dapur dan faktor prilaku seperti kebiasaan merokok keluarga dalam rumah sangat berpengaruh karena semakin banyak penderita gangguan kesehatan akibat merokok ataupun menghirup asap rokok (bagi perokok pasif) yang umumnya adalah perempuan dan anak-anak, sedangkan faktor pelayanan kesehatan seperti status imunisasi, ASI Ekslusif dan BBLR merupakan faktor yang dapat membantu mencegah terjadinya penyakit infeksi seperti gangguan pernapasan sehingga tidak mudah menjadi parah (Anonim, 2007).
Banyak faktor yang berpengaruh terhadap kejadian ISPA, yang dapat meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian akibat pneumonia. Hal inilah yang mendasari penulis untuk meneliti faktor-faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sampara Kabupaten Konawe.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
Bagaimanakah faktor resiko kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sampara Kabupaten Konawe Tahun 2009 ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor resiko kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sampara Kabupaten Konawe.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui hubungan asap dapur dengan kejadian ISPA pada balita.
b. Untuk mengetahui hubungan kebiasaan merokok dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita.
c. Untuk mengetahui hubungan ASI Ekslusif dengan kejadian ISPA pada balita.
d. Untuk mengetahui hubungan status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita.
e. Untuk mengetahui hubungan BBLR dengan kejadian ISPA pada balita.

D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah khususnya bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe dan Puskesmas dalam penentuan arah kebijakan program penanggulangan penyakit menular khususnya ISPA.
2. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan, disamping itu hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya.
3. Bagi penulis merupakan suatu pengalaman yang sangat berharga dalam mengaplikasikan ilmu yang telah didapat dan menambah wawasan pengetahuan.
lihat artikel selengkapnya - Faktor Resiko Kejadian ISPA Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas
iklan2

iklan0
Tingkat Pengetahuan Mahasiswa D III Kebidanan Semester IV Tentang Teknik Pengisian Partograf

iklan1
Tingkat Pengetahuan Mahasiswa D III Kebidanan Semester IV Tentang Teknik Pengisian Partograf:

Pendahuluan : Sebagian besar penyebab kematian dapat dicegah dengan penanganan yang adekuat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petugas kesehatan dalam menolong persalinan, seperti penggunaan partograf dalam persalinan yaitu alat bantu untuk membuat keputusan klinik, memantau, mengevaluasi dan menatalaksana persalinan.
Dari hasil pengamatan pada saat pre survey diperoleh 19 dari 30 orang mahasiswa yang ada (63,3%) tidak mengerti teknik pengisian partograf.  Sedangkan 11 orang mahasiswa lainnya (36,75%)  sudah mengerti teknik pengsian partograf. Dengan demikian jika presentase 63,3% besar kemungkinan mahasiswa D III Kebidanan Universitas Malahayati semester IV tahun 2009 belum mengerti tentang  partograf.

Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui tingkat pengetahuan mahasiswa D III Kebidanan Universitas Malahayati semester IV tentang partograf.

Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan jumlah populasi 176 orang dan sampel diambil keseluruhan populasi, jadi jumlah sampel 176 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Analisis data yang dilakukan secara manual dengan menggunakan presentasi.

Hasil Penelitian : Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada mahasiswa DIII Kebidanan universitas malahayati semester IV secara keseluruhan 72,1 % berpengetahuan baik. Berdasarkan pengertian partograf adalah 72,8 %) berpengetahuan baik, untuk tujuan partograf adalah 72,8 % berpengetahuan baik, berdasarkan waktu penggunaan adalah 42,7 %) berpengetahuan baik, dan 90,0 %) berpengetahuan baik.

Kesimpulan : Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada mahasiswa DIII Kebidanan universitas malahayati semester IV secara keseluruhan 72,1 % berpengetahuan baik. Berdasarkan pengertian partograf adalah 72,8 %) berpengetahuan baik, untuk tujuan partograf adalah 72,8 % berpengetahuan baik, berdasarkan waktu penggunaan adalah 42,7 %) berpengetahuan baik, dan 90,0 %) berpengetahuan baik.

Kata Kunci : Pengetahuan, mahasiswa, partograf 
Kepustakaan : 11 (2002– 2009) 

Anda tertarik Untuk melakukan penelitian yang sama dengan penelitian di atas
ANDA DAPAT MEMILIKI KESELURUHAN ISI KTI : PESAN SEKARANG JUGA

lihat artikel selengkapnya - Tingkat Pengetahuan Mahasiswa D III Kebidanan Semester IV Tentang Teknik Pengisian Partograf
iklan2

iklan0
Gambaran Penatalaksanaan Pemberian Imunisasi BCG Pada Bayi di Posyandu

iklan1
Gambaran Penatalaksanaan Pemberian Imunisasi BCG Pada Bayi di Posyandu:

Latar Belakang Masalah : Pencapaian pemberian imunisasi Bacillus Calmette Guerin (BCG) di Posyandu Desa Gedung Ram belum mencapai target. Setelah pemberian imunisasi BCG yang timbul Benjolan dikulit  dan tidak timbul Benjolan dikulit.  Keadaan ini jelas tidak baik untuk dibiarkan karena dampak dari tidak timbulnya benjolan dikulit berarti tidak berfungsinya imunisasi BCG untuk mencegah penyakit Tuberculosis.  Pada data pendahuluan dari 21 bayi ada 5 bayi (24 %) yang tidak timbul Benjolan setelah dilakukan penyuntikan.                                               

Tujuan Penelitian : Untuk mendapatkan  Gambaran tentang pelaksanaan imunisasi BCG, dengan diketahuinya persiapan alat, persiapan vaksin, dan Teknik penyuntikan. 

Metodelogi Penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian diskriptif dengan pendekatan Cross sectional. Populasi penelitian ini adalah Posyandu Desa Gedung Ram berjumlah 5.   Sedangkan Obyek Penelitian adalah Pelaksanaan imunisasi BCG. 

Hasil Penelitian : Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis bahwa persiapan alat penyuntikan, secara umum belum memenuhi standar yaitu 40% (2 posyandu) yang dipersiapkan dan yang tidak dipersipkan 60% (3 posyandu).  Persiapan vaksin dilaksanakan dengan kriteria Baik 80% (4 posyandu) dan 20% (1 posyandu) tidak dilakukan dengan kriteria kurang.  Teknik penyuntikan dilaksanakan dengan kriteria kurang yaitu 20% (1 posyandu) dan tidak dilakukan 80% (4 posyandu).          

Kesimpulan : Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan terhadap petugas Posyandu Desa Gedung Ram wilayah Puskesmas Brabasan tahun 2009, secara umum dikatakan kurang dari standar yang telah ditetapkan. 

Kata Kunci : Penatalaksanaan, Imunisasi BCG 
Kepustakaan : 12 (2000-2009)

Anda tertarik Untuk melakukan penelitian yang sama dengan penelitian di atas
ANDA DAPAT MEMILIKI KESELURUHAN ISI KTI : PESAN SEKARANG JUGA


lihat artikel selengkapnya - Gambaran Penatalaksanaan Pemberian Imunisasi BCG Pada Bayi di Posyandu
iklan2
kti